[Image: 230543_122851794462254_100002123034260_1...1065_n.jpg]

Jika mengunjungi obyek wisata Pemandian Muncul, di Banyubiru, Kabupaten Semarang, tidak ada salahnya menjajal keunikan dan kenikmatan pecel keong di Warung Makan Mbak Toen. Bagi masyarakat perkotaan boleh jadi makanan ini kurang lazim. Sungguh, rasanya cukup unik, kaya dengan bumbu dan empuk.

Saat musim liburan, warung makan yang persis berada di depan Pemandian Muncul bakal ramai pengunjung. Duduk terpaksa harus antre atau memilih lesehan di tikar yang disediakan di samping warung. Sebetulnya, pecel keong ini hampir sama dengan pecel umumnya. Sayuran dengan mi dan dua irisan timun berlumur bumbu kacang. Perbedaannya, ada tambahan oseng-oseng keong sawah.

Aroma jahe cukup kental tercium dari oseng-oseng keong itu, sehingga di lidah terasa sedikit pedas, mengiringi rasa manis. Rasa daging keong itu hampir mirip kerang, hanya teksturnya sedikit lebih kenyal.

Menurut Romjatun (47), pemilik warung ini, keong sebagai bahan baku berasal dari persawahan di sekitar Banyubiru. Untuk membuat daging keong empuk, dia merebusnya hingga satu jam. Setelah itu, daging keong akan mudah terlepas dari cangkangnya.

“Tidak ada bumbu rahasia, kami mengoseng keong dengan bumbu lengkap, jahe, cabai, kemiri, kunyit, dan kecap. Itu resep turun temurun. Menu itu dibuat 20 tahun lalu oleh mbah saya,” katanya, Kamis (18/12).

Selain menu andalan pecel keong, pengunjung dapat pula menikmati pecel belut atau mujahir. Sebagai pelengkap, tersedia aneka keripik, tahu, dan tempe goreng. Harganya pun terjangkau, Rp 4.000 untuk pecel keong tanpa nasi dan Rp 5.000 jika dengan nasi per porsi. Adapun harga pecel belut dan mujahir masing-masing Rp 8.000.

Untuk minuman, di warung makan itu ada pula menu khas, es kolak ketan seharga Rp 3.000 per porsi. Minuman itu lumayan menyegarkan. Warung Makan Mbak Toen buka setiap hari dari pukul 07.00-17.30, termasuk saat hari besar seperti Lebaran.

Wisnu Sucahyo (50), warga Salatiga yang sedang asyik menyantap pecel keong, menilai rasa pecel itu sangat unik, sehingga dia selalu menyempatkan diri menyantap menu tersebut kala melewati jalur alternatif Salatiga-Ambarawa. Wisnu sering menyantap sajian pecel keong itu sejak masih kuliah.

“Keong sawah dipercaya dapat memulihkan kondisi badan yang lelah dan rematik,” kata Romjatun. Tantangan menarik untuk mencobanya sendiri.

1310514384788096995

Urusan mencicipi makanan lokal ala Indonesia… the local traditional cuisine merupakan seni tersendiri. Ada rasa kepuasan jika kita pernah merasakan banyak menu-menu nusantara. Makanan ala barat boleh lah mempunyai kelas dan cita rasa sendiri. Okelah sebagai pencinta seni rasa makanan, ndak boleh dong mengkonfrontasikan kubu-kubu makanan. Sesama makanan besaudara kan ?

The Indonesian Local cuisine… termasuk makanan yang maaf berbau ndeso… lha itulah seninya. Wisata kuliner tidak berarti terus kita hobi makan berlebihan lho, tetapi bagaimana kita nglaras roso… wisata rasa.. Bagi sebagian kawan-kawan yang belum pernah menggeser seni rasa makanan, ke ranah makanan tradisional, dipersilahkan mencoba… untuk berpetualang ke dunia makanan asli Indonesia. Cobalah dari yang ada di sekitar anda. Buanyak makanan Indonesia yang bisa kita gali… kita kunjungi… kita apresiasi, menjadi seni nglaras roso…

Yang mau saya tawarkan ini, maaf barangkali banyak teman yang sudah mencoba dan merasakan. Kenikmatan wisata kuliner, tidak ditentukan dengan tempatnya yang wah bintang lima, restoran international, tetapi bagaimana kita meng-apresiasi dimensi-dimensi makanan itu. Bagaimana makanan dibuat, sejarahnya, latar belakang budaya setempat, cerita-cerita yang berkaitan dengan legenda makanan itu, detail-detail rasa, penampilan makanannya… banyak lah.  Masalah wisata kuliner adalah seni rasa, bukan budaya rakus tamaknya makan memakan. Beda jauh… wisata kuliner adalah rendevousnya saraf-saraf pengecapan, penglihatan, pendengaran, kepekaan sosial, kesensitifan religi, halusnya berbudaya, bahkan sampai urusan cinta. Wisata kuliner bisa melebar spektrumnya ke memperhalus jiwa..

Makanan yang bercita-rasa seni dan jiwa itu adalah pintu dari proses-proses kelembutan dan kehalusan jiwa kita. Mirip dengan khasanah seni musik, teater, puisi, lukisan. Sepiring pecel yang derdiri dari nasih putih yang disusun dalam gundukan seperti bukit terletak manis di seperempat bagian piring itu, setengah bagian yang lainnya ada susunan lapisan yang luar biasa, ada putih besih kubis dalam ukuran yang manis, kacang panjang yang rapi, tauge dan sebuah guratan sambal pecel merah kecoklatan yang manis. Dari bentuk guratannya, menunjukkan suatu gerakan menyiramkan sambal secara terampil, dengan presisi letak yang akurat  di atas layer-layer sayuran hijau putih yang cantik itu.

Lalu sambil menelan air ludah, semua indera kita tertantang dengan stimulan harumnya belut goreng, telinga kita mendengarkan merdu dan renyahnya, belut yang berlapis tepung itu mencebur ke dalam minyak panas yang menebarkan aroma harum dan gurih. Suaranya terkomposisi dalam pola yang tetap. Celoteh para wanita-wanita itu melengkapi identitas pecel belut yang mau saya santap. Saya dan anak sulung saya yang mulai juga menyukai petualangan makanan lezat, tidak berkutik sewaktu dua piring belut goreng hangat, mulai mendekat ke mata kita, ke meja kita. Anak saya mringis, mengungkapan kelegaan hatinya menunggu makanan legendaris itu. Belut-belut yang berlapis tepung kuning keputihan, tersusun melingkar-lingkar cantik. Dengan tangkasnya tangan-tangan kita, mendekati komposisi dua piring, piring pertama pecel dan nasi, piring kedua, belut gorengnya.